Rabu, 05 Mei 2010

Profesionalisme Kedokteran & Programer

PROFESIONALISME KEDOKTERAN
“being a good doctor is listening” (DR Barry Bub)
Dokter, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di mata masyarakat. bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang. Tetapi, sepertinya kesan baik itu sudah mulai luntur dengan banyaknya tingkah laku dokter yang mulai menimbulkan rasa was-was kepada pasien. Faktanya, tidak jarang, dokter melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak lazim dalam menjalankan tugasnya. Hal ini diistilahkan dengan kata mal praktik, yang ironisnya tak jarang menyebabkan kerugian yang amat besar kepada pasien. kesalahan-kesalahan yang terjadi saat proses pelayanan seorang dokter tak jarang karena disebabkan oleh kelailaian si dokternya sendiri, padahal bisa jadi, kekurang telitian tersebut sebenarnya bisa dihindari. Mal praktik yang kian digaungkan di tengah pasar kesehatan negeri ini merupakan salah satu celah ketidakprofesionalan dokter dalam mengemban amanahnya.
gagal berkomunikasi
Salah satu penyumbang factor yang terbesar terjadinya malpraktik adalah masalah komunikasi yang dibangun sewaktu dokter menggali informasi dari pasien. dalam praktik medis disebut dengan anamnesis. Beberapa fakta empiric yang sering diresahkan masyarakat adalah sikap dokter yang kurang ramah, kurang empati dan kurang mengayomi pasien-pasiennya. Pasien hanya didibaratkan sebagai sebuah mesin yang tunduk pada perintah dokter tanpa memperhatikan feedback langsung dari lawan bicaranya.
Ketidaksempurnaan dokter dalam membangun komunikasi terhadap pasien akan berakibat buruk terhadap proses terapeutik yang dikelolanya nanti. Karena tak jarang, dokter terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis. Seorang dokter, menurut sebuah penelitian di Amerika, umumnya menyela keluhan yang disampaikan pasiennya setelah 22 detik. Artinya, dokter sering tidak sabar menunggu Anda menyelesaikan semua keluhan, dan lebih suka menghentikannya di tengah-tengah pembicaraan. Padahal, kalau dokter mau bersikap lebih sabar sedikit saja terhadap pasiennya, dan mendengarkan semua penjelasan yang disampaikan, hal itu tidak memakan waktu lama. Penelitian yang dilakukan di Swiss, menyimpulkan: Pasien rata-rata hanya butuh waktu dua menit untuk menyelesaikan semua keluhan yang dirasakan. Menurut Dr. Wolf Langewitz dari University Hospital di Basle, gejala serupa hampir terjadi di semua negara. “Diperkirakan dokter mengambil alih pembicaraan setelah 30 detik. Mereka akan segera bertanya, “Bagaimana batuknya?, “Merasakan demam nggak?”, “Suhunya berapa?”. Begitulah dokter akan memulai dengan serangkaian pertanyaan dan jarang memberi kesempatan kepada pasien untuk bicara.”
Seringnya kebiasaan menyela pembicaraan yang dilakukan para dokter dapat mempengaruhi kualitas informasi yang diperolehnya nanti. Pasien mungkin ingat ketika dokter menyela pembicaraan mereka. Bisa jadi pasien beranggapan bahwa ada yang salah dari apa-apa yang mereka sampaikan, sementara dokter menghujani pertanyaan-pertanyaan tertutup di saat yang kurang tepat. Akibatnya, psikologis pasien bisa terganggu karena hal-hal yang kurang bijak ini.
Krisis waktu
Kurangnya perhatian dalam hal komunikasi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh alokasi waktu yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dokter, terutama di negeri ini, cenderung bersikap kurang bijak antara kemampuan dan output pemeriksaan yang mereka lakukan. Para dokter lebih mengutamakan kuantitas pasien yang mereka periksa daripada kualitas hasil pemeriksaannya. Tak jarang, mereka memaksakan jam periksanya di luar batas endurance fisiknya. Tuntutan kejar tayang menyebabkan kurangnya fokus dokter sewaktu memeriksa pasien. Bayangkan kalau misalnya, dalam sehari ada 100 pasien yang ditangani, sementara jam praktiknya hanya sekitar 4 – 5jam. Otomatis, alokasi waktu anamnesis pasien sangat sedikit. Padahal, kunci keberhasilan pasien adalah pada anamnesis. Tanpa anamnesis yang baik, diagnosis pasien bisa meleset dan berakibat terjadinya mal praktik.
Keberadaan undang-undang praktik kedokteran yang ada di negara kita sedikit banyak sudah mulai mengakomodasi penyelesaian masalah dari fenomena-fenomena di atas, baik dengan pembatasan tempat praktik maupun alokasi waktunya. Namun, sebuah peraturan saja tak akan mampu mengubah pola perilaku yang salah kecuali datang dari kesadaran pribadi-pribadi tenaga kesehatan ini. Tengok saja di beberapa negara maju, seperti amerika. Di negara ini, dokter yang melakukan tindakan (bedah, persalinan, kedaruratan medik) tidak diperkenankan lagi melakukan praktik harian. Dengan demikian tetap terjaga konsentrasinya dalam melakukan tugas profesinya. Namun, dengan pengetatan itu pun kasus malapraktik masih juga terjadi. Apalagi melihat sepak terjang praktik rata-rata dokter kita. Sepandai-pandai tupai melompat, akan terjatuh juga. Itulah maka kasus malapraktik di Indonesia tidak pernah berkurang.
Beda dokter Indonesia dengan dokter asing adalah dalam hal waktu. Rata-rata dokter kita kelewat sempit waktunya untuk memeriksa pasien secara legal artis, secara ikut aturan medik. Tidak ada di dunia dokter yang dalam seharinya memeriksa ratusan pasien seperti di Indonesia. Oleh karena bobot kerja rata-rata dokter kita melebihi enduran fisiknya, kesabaran mentalnya, dan ketahanan batinnya, banyak pasien tidak puas bertemu doktennya. selain hasil terapinya bisa jadi dinilai gagal, kurang sempurna, atau mungkin malah berkomplikasi.
Memang tidak semua kasus ketidakpuasan pasien akibat ulah dokter. Cara kerja minimalis, rendahnya penghargaan terhadap profesi, alitnya honorarium, adalah faktor-faktor yang menjadikan dokter kita seolah tidak profesional. Bahkan seorang profesor kita pun, pernah dibicarakan akibat bobot kerjanya melebihi kemampuan profesionalnya, sehingga bisa sampai kecolongan luput mendiagnosis yang selayaknya bila dalam kerja profesi normal bisa dilakukannya. Sekali lagi, penyebab tidak profesionalnya rata-rata dokter kita, sebagian besar lantaran waktunya sempit untuk mendiagnosis pasien. Anamnesis (wawancara) yang seharusnya khusuk, sabar, dan cermat diamati, baru beberapa detik saja pasien bicara, ada dokter yang sudah selesal menulis resepnya.
Oleh karena itu, dengan melihat fakta yang meresahkan seperti itu,seharusnya ada gerakan untuk mengajarkan kembali dokter untuk cerdas mendengar pasien. Mengajarkan ulang bagaimana dokter menyimak riwayat penyakit pasiennya, bersikap penuh tenggang rasa terhadap pasien. Caranya, dengan kiat, dengan sebuah sikap seni narrative medicine, yaitu sebuah disiplin baru yang menekankan keterampilan mendengar dan menulis untuk membantu para pekerja medis memahami lebih baik kondisi pasiennya. Bagaimana pekerja medis menyediakan waktu cukup untuk sepenuhnya mendengar. Bagaimana membangun program percakapan dalam sebuah disiplin medis. Bagaimana tajam dokter membayangkan perasaan sakit pasien dan membangun rasa empati terhadap kesukaran-kesukaran yang pasien hadapi. Harapannya, dengan pemahaman bahwa profesi medis merupakan sebuah seni (medical is an art), para dokter mampu mengelola proses penanganan pasien dengan cara-cara yang empatik namun elegant, sehingga kombinasi penyampaian informasi ataupun keluhan yang nyaman oleh pasien dengan cara-cara penerimaan respon yang baik oleh dokter mampu menjadi pedekatan yang efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pasien dengan baik.
oleh sutarmanisme di/pada Mei 6, 2008.

Profesionalosme Programer


Dalam setiap profesi kita butuh memiliki sikap profesionalisme, apaun itu bidangnya yang sedang anda lakukan. Kita juga perlu mengetahui kode etik professional yang harus dimiliki oleh seorang IT. Dan berikut adalah ciri-ciri profesionalisme yang dibutuhkan seorang IT:
• Memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang TI
• Memiliki ketrampilan yang tinggi di bidang TI
• Memiliki pengetahuan yang luas tentang manusia dan masyarakat, budaya, seni, sejarah dan komunikasi
• Tanggap tehadap masalah client, paham terhadap isu-isu etis serta tata nilai kilen-nya
• Mampu melakukan pendekatan multidispliner
• Mampu bekerja sama (Team Work)
• Bekerja dibawah disiplin etika
• Mampu mengambil keputusan didasarkan kepada kode etik, bila dihadapkan pada situasi dimana pengambilan keputusan berakibat luas terhadap masyarakat
Kode Etika Profesional
Pengertian kode etik profesi
Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Kode etik merupakan sekumpulan prinsip yang harus diikuti sebagai petunjuk bagi karyawan perusahaan atau anggota profesi. Beragamnya penerapan teknologi informasi dan meningkatnya penggunaan teknologi telah menimbulkan berbagai variasi isu etika.
Setujunya, setiap bidang profesi memiliki aturan-aturan/hukum-hukum yang mengatur bagaimana seorang profesional berfikir dan bertindak. Seseorang yang melanggar Kode Etik dikenakan sanksi. Sanksi yang dikenakan adalah mulai dari yang paling ringan, yaitu sekedar mendapat sebutan “tidak profesional” sampai pada pencabutan ijin praktek, bahkan hukuman pidana pun bisa terjadi.
Sebagai salah satu bidang profesi, Information Technology (IT) bukan pengecualian, diperlukan aturan-aturan tersebut yang mengatur bagaimana para IT profesional ini melakukan kegiatannya. Sejauh yang pernah saya baca, belum ada Kode Etik khusus yang ditujukan kepada IT Profesional di Indonesia. Memang sudah ada beberapa kegiatan yang mengarah ke terbentuknya Kode Etik ini. Dalam postingan kali ini, saya ingin mengenalkan Kode Etik yang dibuat oleh IEEE Computer Society dan ACM yang ditujukan khusus kepada Software Engineer sebagai salah satu bidang yang perannya makin meningkat di IT.
Ada lima aktor yang perlu diperhatikan:
1. Publik
2. Client
3. Perusahaan
4. Rekan Kerja
5. Diri Sendiri
Karyawan IT di client mestinya juga mengadopsi Kode Etik tersebut, sehingga bisa terjalin hubungan profesional antara konsultan dengan client. Bertindak fair terhadap kolega juga berlaku bagi karyawan IT di organisasi client dalam memperlakukan vendornya. Apabila dua perusahaan telah sepakat untuk bekerja sama membangun suatu software, maka para profesional IT di kedua perusahaan tersebut harus dapat bekerja sama dengan fair sebagai sesama profesional IT . Beberapa perlakuan yang tidak fair terhadap kolega, antara lain:
Ø Dalam ruang lingkup TI, sebagai seorang profesional kita mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan etika profesi teknologi informasi yang memuat kajian ilmiah mengenai prinsip atau norma-norma dalam kaitannya dengan hubungan antara professional atau developer TI dengan klien, antara para professional sendiri, dan antara organisasi profesi serta organisasi profesi dengan pemerintah. Salah satu bentuk hubungan seorang professional dengan klien (pengguna jasa) misalnya dalam pembuatan sebuah program aplikasi.
Ø Dalam pembuatan program, seorang profesional tidak dapat membuat program sesuai kehendaknya, tapi ada beberapa hal/etika/aturan yang harus diperhatikan dari mulai awal pembuatan program sampai program tersebut selesai. Dia harus bisa mempertimbangkan dan memperhatikan untuk apa program tersebut dibuat sesuai kebutuhan kliennya.
Ø Seorang profesional harus mampu berfikir bagaimana menerapkan dan membuat keamanan (security) pada sistem kerja program aplikasi yang dibuatnya agar terproteksi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengacaukan sistem seperti : hacker, cracker, dan sebagainya.
Pada postingan kali ini akan membahas mengenai Ciri-ciri profesionalisme di bidang IT dan kode etik profesional yang seperti apa yang harus dipunyai oleh seorang IT.
Etika merupakan suatu cabang filosofi yang berkaitan dengan apa saja yang dipertimbangkan baik dan salah. Ada beberapa definisi mengenai etika antara lain :
• Kode moral dari suatu profesi tertentu
• Standar penyelenggaraan suatu profesi tertentu
• Persetujuan diantara manusia untuk melakukan yang benar dan menghindari yang salah.
Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :
1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan tidak boleh dilakukan.
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dpat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan social).
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.

Teknologi Informasi ( IT ) merupakan teknologi yaag selalu berkembang baik secara revolusioner ( seperti misalnya perkembangan dunia perangkat keras ) maupun yang lebih bersifat evolusioner ( seperti yang terjadi pada perkembangan perangkat lunak ).
Hal itu mengakibatkan bahwa pekerjaan di bidang Teknologi Informasi menjadi suatu pekerjaan di mana pelakunya harus terus mengembangkan ilmu yang dimilikinya untuk mengikuti perkembangan Teknologi Informasi tersebut. Artinya, seseorang yang sudah sampai pada level “ahli” di satu bidang pada saat ini, bisa ketinggalan pada bidang yang sama di masa depan jika tidak mengikuti perkembangan yang ada.
1. Peningkatan Profesionalisme
Syarat profesionalisme yang harus dimiliki pekerja IT :
1) Dasar ilmu yang kuat dalam bidangnya sebagai bagian dari masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan abad 21.
2) Penguasaan kiat-kiat profesi yang dilakukan berdasarkan riset dan praktis, bukan hanya merupakan teori atau konsep.
3) Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan.
Penyebab rendahnya profesionalisme pekerja IT :
1) Masih banyak pekerja IT yang tidak menekuni profesinya secara total.
2) Belum adanya konsep yang jelas dan terdefinisi tentang norma dan etika profesi pekerja dibidang IT.
3) Masih belum ada organisasi profesional yang menangani para profesional dibidang IT.
2. Mempesiapkan SDM
Contoh program pendidikan Indonesia yang berkaitan dengan Teknologi Informasi :
1) Program Sekolah 2000
2) Program SMK Teknologi Informasi
3) Program Diploma Teknologi Informasi
4) Program Pendidikan Sarjana Teknologi Informasi
3. Menjadi Profesional dengan sertifikasi
Alasan pentingnya sertifikasi profesionalisme dibidang IT :
1) Bahwa untuk menuju pada level yang diharapkan, pekerjaan di bidang TI membutuhkan expertise.
2) Bahwa profesi dibidang TI, dapat dikatakan merupakan profesi menjual jasa dan bisnis jasa bersifat kepercayaan.
4. Manfaat adanya sertifikasi profesionalisme :
1) Ikut berperan dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih professional
2) Pengakuan resmi pemerintah tentang tingkat keahlian individu terhadap sebuah profesi
3) Pengakuan dari organisasi profesi sejenis, baik tingkat regional maupun internasional
4) Membuka akses lapangan pekerjaan secara nasional, regional maupun internasional
5) Memperoleh peningkatan karier dan pendapatan sesuai perimbangan dengan pedoman skala yang diberlakukan



Tugas Etika profesi

Nurul Fadilah
09110082

1 komentar: